Terkadang kita begitu gampang
mengklaim seseorang. Entah itu kurang pantaslah, kurang layaklah atau kurang
bijaklah, dan masih banyak tanggapan-tanggapan lain. Sebenarnya tidak ada
salahnya kalau memang hal itu adalah sesuatu yang tak pantas. Wajar dong,
memberikan peringatan kepada saudara kita agar mereka sadar dan tidak
mengulanginya lagi?
Namun, yang kemudian menjadi
masalah manakala hal yang menurut kita tidak wajar justru mengandung kebaikan
dan hikmah yang tidak kita ketahui. Akhirnya, kita menganggapnya tidak layak
dan tidak pantas.
Apa yang penulis hendak sampaikan
bahwa tidak semua yang menurut kita tidak wajar itu salah. Mungkin saja, kita
belum mengetahui apa sebab orang tersebut melakukan hal seperti itu. Boleh jadi,
hal yang menurut kita kurang wajar itu, justru mengandung suatu kemaslahatan.
Kita semua tentu mengetahui Buya
Hamka. Seorang ulama besar yang sangat berjasa bagi bangsa ini. Beliau tidak
hanya disegani dan dikenal di Indonesia, tapi juga di Arab Saudi dan Mesir.
Beliau sebagai salah satu tokoh besar Organisasi Muhammadiyah.
Beliau mempunyai kisah yang
semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita. Beliau pernah membid’ahkan qunut pada
shalat shubuh. Suatu ketika ia shalat di masjid organisasi Nahdatul Ulama (NU)
yang terkenal sangat kental dengan mazhab syafi’i (tentu NU mensunahkan membaca
qunut pada shalat shubuh). Saat itu beliau dipersilahkan untuk menjadi imam
shalat shubuh. Ternyata beliau membaca qunut. Tentu saja orang NU merasa heran,
bukankah beliau yang justru membid’ahkan qunut?
Tahukah anda apa jawaban beliau
saat ditannya kenapa melakukan qunut? Ia menjawab dengan sangat bijak, “Dulu
aku hanya membaca empat kitab, namun sekarang aku telah membaca 400 kitab.” Pertanyaannya,
siapakah yang lebih bijak?
Bisa jadi, kita mengklaim
seseorang karena ilmu kita masih terbatas. Kita belum mampu mencerna apa yang sebenarnya
melatarbelakangi seseorang untuk melakukan hal itu. Itulah pentingnya tabayyun
(mencari tahu tentang kebenaran sesuatu).
Kita juga tentu sering mendengar
Buya Muhammad Natsir. Beliau merupakan pendiri Organisasi Masyumi. Jasanya bagi
umat Islam di tanah air ini sangatlah banyak. Terlebih kepada mahasiswa
Indonesia yang belajar di Saudi Arabia, haruslah berterimakasih kepada beliau.
Beliaulah yang pertama kali mengadakan kerjasama dengan pemerintah Saudi untuk
mengirim mahasiswa Indonesia belajar agama di sana.
Beliau juga mempunyai kisah yang
tak kalah menarik dari Buya Hamka. Kisah ini penulis dengar dari Ustadz Hepi Andi
Bastoni saat acara bedah buku beliau berjudul “Wajah politik Muawiyah bin Abi
Sofyan.”
Berikut kisahnya: Waktu itu,
diadakan rapat dengan seluruh ormas dan tokoh-tokoh Islam untuk memutuskan agar
diadakan libur pada hari jumat. Seluruh peserta pun sepakat untuk diadakan
libur pada hari jumat kecuali satu orang yaitu Muhammad Natsir. Seluruh peserta
tentu merasa heran. Bukankah beliau yang sangat getol dalam membela Islam? Bukankah
beliau yang sangat teguh dalam memperjuangkan hak-hak orang Islam?
Ketika ditanya apa yang menjadi
alasan beliau tetap mempertahan libur pada hari ahad. Berikut jawabannya:
“Tahukah saudara apa yang
menyebabkan saya tidak setuju bila diadakan libur pada hari jumat dan tetap diliburkan
pada hari ahad? Saudara tentu telah mengenal siapa saya dan bagaimana
perjuangan saya untuk membela Islam. Bila diliburkan pada hari jumat maka di
sekolah-sekolah, di kantor-kantor, di perusahaan-perusahaan dan di tempat lain
tidak akan dibangun masjid. Namun, bila tidak diliburkan maka tentu akan
dibangun masjid pada setiap tempat, karena mayoritas mereka semua adalah Islam.
Demikian pula sebaliknya, bila diliburkan pada hari jumat bisa jadi di tempat
itu akan dibangun gereja, karena pada hari ahad agama Nasrani ingin beribadah.“
Sebuah jawaban yang sungguh tak pernah diduga sebelumnya.
Sekali lagi, siapakah yang lebih
bijak? Silahkan anda sendiri yang menjawab!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar