Apasih yang membuat sains di
dunia Islam mundur? Bukankah dahulu justru Islamlah yang berjaya? bukankah para
ilmuan barat mengambil ilmu dari Islam? Itulah beberapa pertanyaan yang sering
kita dengar. Tentu masih banyak pertanyaan lain terkait dengan kemunduran sains
dalam Islam.
Inilah yang kemudian membuat DR.
Syamsuddin Arif membahas tema ini dalam bukunya yang berjudul “Orientalis dan diabolisme
pemikiran.”[1]
Dalam buku tersebut beliau memaparkan pendapat para ahli tentang masalah ini. Diantaranya,
menurut Profesor Sabra, kemunduran sains Islam merupakan fase keempat dari
proses yang disebutnya sebagai ‘appropriasi’. Pada tahap ini, aktivitas
saintifik mengalami reduksi karena lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
praktis. Akhirnya, peran sains kemudian menyempit hanya menjadi sekedar pelayan
agama (handmaiden of religion). Namun, menurut DR. Syamsuddin penjelasan
ini tidak terlalu tepat. Sebab pada banyak kasus, asas manfaat justru berperan
penting dalam mendorong perkembangan dan kemajuan sains.
Adapun menurut David C. Lindberg,
ada tiga faktor penyebab kemunduran sains dalam dunia Islam. (1) Oposisi kaum
konservatif. (2) Krisis ekonomi dan politik. (3) Keterasingan. Namun, menurut DR.
Syamsuddin bahwa pendapat ini pun tidak dapat diterima begitu saja, dengan
alasan bahwa David C. Lindberg telah terkontaminasi oleh pemikiran orientalis
yang cenderung memandang Islam sebelah mata. Sebagai contoh, ia mengklaim kasus
pembakaran buku-buku sains dan filsafat di Cordoba merupakan faktor kemunduran
sains Islam. Padahal, ini hanyalah klaim dari kalangan orientalis yang
tergesa-gesa dalam menyimpulkan. Bahkan menurut Dimitri Gutas dari universitas
Yale, ini hanyalah mitos.[2]
Menurut DR. Syamsuddin, ada satu hal
yang luput dari perdebatan ini, yaitu apa sebenarnya yang melatarbelakangi
oposisi tersebut? Jadi, bukan sekedar bagaimana atau seperti apa kejadiannya,
namun mengapa semua itu terjadi.
Dari analisis penulis, setidaknya
ada tiga yang menjadi alasan DR. Syamsuddin terhadap kemunduran sains di dunia
Islam. Pertama, penyebab utamanya adalah dari Islam itu sendiri. Beliau
memberikan gambaran bahwa banyaknya pemikir Islam secara diam-diam telah murtad
dari Islam. Tren yang berlaku pada saat itu pun adalah free-thinking
alias liberalisme. Bukan intelektual jika tidak liberal dan sekuler. Belum lagi
para pemikir yang mengingkari kenabian Rasulullah. Ada juga yang
terang-terangan minum khamer dan lain sebagainya.
Faktor kedua adalah krisis
ekonomi dan politik yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan sains.
Konflik berkepanjangan yang seringkali disertai perang saudara telah
mengakibatkan disintegrasi, krisis militer dan hancurnya ekonomi. Belum lagi
diperparah dengan perang salib yang memakan ribuan korban. Demikian pula invasi
pasukan Mongol yang berhasil menduduki Baghdad pada tahun 1258 M.
Faktor ketiga adalah gerakan
sufisme. Seiring dengan kemajuan peradaban Islam saat itu, muncul berbagai
gerakan moral spiritual yang dipelopori oleh sufi. Tujuan gerakan ini hanyalah
sebagai penyucian jiwa dan pembinaan diri secara lebih intensif. Namun,
gerakan-gerakan tersebut kemudian mengkristal menjadi tarekat-tarekat dengan
pengikut kebanyakan orang awam.
Dari sinilah kemudian melahirkan
sufi-sufi palsu yang mengedepankan sifat irasional di kalangan masyarakat.
Akhirnya, mereka lebih tertarik pada aspek-aspek mistik, kesaktian, keajaiban
daripada aspek ubudiyah dan ahlak. Muncullah kemudian praktek-praktek bid’ah,
takhayul dan khurafat. Akibatnya, yang berkembang bukanlah sains
tetapi magic (sihir, perdukunan dan lain sebagainya). Sebenarnya, lebih
tepat jika dikatakan bahwa kemunduran sains disebabkan oleh praktik-praktik
semacam ini bukan oleh ajaran tasawuf.
Sebenarnya, ada juga tuduhan dari
orientalis bahwa penyebab kemunduran sains di dunia Islam yaitu Asy’ariyah.
Dalam hal ini adalah Imam Ghazali. Menurut mereka bahwa Imam Ghazalilah yang
bertanggung jawab atas kemunduran ini, dimana beliau menutup ruang sains dari
Islam. Padahal ini hanyalah tuduhan yang tidak dapat dibuktikan.
Sebenarnya, yang ingin
dihancurkan oleh Imam Ghazali bukanlah bangunan sains, akan tetapi sikap para
ilmuwan saat itu yang begitu menuhankan sains. Sehingga sains menjadi hal yang
sakeral yang tidak dapat diganggu dan digugat. Islam sangatlah menjunjung
tinggi sains. Namun, manaka bertentangan dengan wahyu maka sainslah yang harus
mengalah.
[1] DR. Syamsuddin
Arif, Orientalis dan diabolisme pemikiran, (Depok: Gema Insani, 2008)
hlm. 244.
[2] Sonja Brentjes,
“Orthodoxy, Ancient Sciences, Power, and the madrasah (College), in Ayyubbid
and Early Mamluk Damascus,” paper presented to the International Wokshop on
Experience and Knowledge Struktures in Arabic and Latin Sciences, Max Planck
Institute for History of Sciences, Berlin, December 16-17, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar