“Dan mereka (kaum anshar) mengutamakan (orang-orang muhajirin),
atas diri mereka sendiri. Sekali pun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
Namun,
perlu kita ketahui bahwa itsar hanya berlaku dalam masalah dunia. Adapun
dalam masalah agama, maka yang berlaku adalah firman Allah Subhanahu
wata’ala yang berbunyi, “Fastabiqul khairat (berlomba-lombalah kamu
dalam kebaikan).”
Jadi,
dalam masalah agama kita tidak boleh mengalah. Kita tidak boleh lebih
mendahulukan orang lain. Bukankah kita ingin termasuk kategori orang yang
mendapat naungan dari Allah Subhanahu wata’ala di akhirat kelak?
Bukankah kita ingin duduk bersandingan
dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam? Bukankah kita ingin
mendapatkan surga yang nikmatnya tiada tara?
Bukankah
dalam masalah dunia saja kita berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan? Kita
tentu ingin sukses dan tidak akan pernah mengharapkan rugi. Dalam masalah
dagang saja misalnya, kita tentu ingin
mendapat keuntungan setinggi-tingginya. Kalau dalam masalah dunia saja kita
ingin yang terbaik, lalu mengapa dalam masalah akhirat kita tidak ingin yang terbaik?
Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya manusia mengetahui
bagaimana besarnya keutamaan adzan dan shaf awal kemudian mereka tidak
mendapati cara selain mengundi, maka mereka akan mengundi.” (HR. Bukahri
dan Muslim)
Ini
menunjukkan bahwa sebenarnya kita ingin mendapatkan yang terbaik. Namun,
mungkin saja kita belum mengetahui hikmah di balik itu. Mungkin juga kita telah
mengetahui, namun kita belum begitu yakin sehingga menganggap sepele hal
tersebut. Kalau seandainya kita benar-benar yakin, maka kita tidak akan melewatkan
pahala selagi kita mampu. Sebagaimana para sahabat, mereka tidak akan pernah
melewatkan pahala selagi mereka mampu untuk meraihnya.
Seorang
muslim yang cerdas, tentu mengetahui apa yang terbaik baginya. Pepatah
mengatakan, “Orang yang cerdas adalah orang yang mengetahui kemaslahatan
(kebaikan) bagi dirinya.”
Lihatlah
para sahabat, betapa antusiasnya mereka untuk mendapatkan kebaikan. Ketika ada
seruan untuk berjihad, tanpa pikir panjang, mereka langsung menyambutnya. Mari
kita simak penuturan Ali radhiallahu anhu ketika Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam akan mengutus para sahabat ke salah satu
peperangan. Mereka saling berlomba. Bahkan masing-masing dari mereka mengharap
bahwa merekalah yang ditunjuk oleh Rasulullah sebagai pimpinan perang. Pada
saat itu, mereka semua mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, agar Rasulullah melihat
dan menunjuknya sebagai pimpinan perang.
Demikian
pula ketika ada seruan berinfak, mereka pun saling berlomba. Dalam perang tabuk
misalnya, Umar bin Khattab datang dengan membawa separuh hartanya. Ia merasa
sangat gembira karena bisa menginfakkan sebagian besar hartanya. Dan tak lama
setelah itu, dalatanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya.
Kita
mungkin merasa heran, kenapa Abu Bakar rela menginfakkan seluruh hartanya. Ini
pula yang Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tanyakan kepada beliau,
“Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Namun, apa jawaban Abu
Bakar, “Aku sisakan bagi mereka Allah dan Rasulnya.” Sungguh jawaban
yang sangat bijak.
Apa
yang membuat Abu Bakar sampai melakukan hal itu? Tidak lain, karena beliau
mengetahui bahwa kelak ia akan mendapat balasan yang jauh lebih besar dibanding
apa yang ia korbankan. Sekali lagi, ini menunjukkan betapa semangatnya para sahabat
berlomba dalam kebaikan.
Konsep para Shalafusshaleh
Ada
dua konsep yang dilakukan oleh shalafusshaleh agar bisa berlomba dalam
kebaikan. Pertama, mereka senantiasa melihat kelebihan saudaranya (dalam
masalah akhirat). Mereka merasa iri, bila melihat saudaranya begitu rajin
melakukan shalat tahajjud, sementara mereka masih merasa malas. Mereka merasa
sedih ketika melihat saudaranya begitu khusyuk dalam shalat, sementara mereka
tidak. Mereka pun merasa iri ketika melihat saudaranya begitu rajin dalam
bershadaqah, demikian pula dalam menuntut ilmu, sementara mereka tidak bisa
seperti itu.
Perlu
kita ketahui bahwa iri dalam masalah ini diperbolehkan. Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada iri kecuali dalam dua hal yaitu seseorang
yang memiliki harta kemudian menginfakkannya dan seseorang yang memiliki ilmu
kemudian mengajarkannya.”
Bahkan
dalam masalah yang mereka tidak mampu untuk melakukannya, pun mereka merasa
sangat tertinggal. Lihatlah betapa sedihnya para sahabat Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam ketika melihat saudaranya bisa berinfak. Mereka merasa
sedih karena tidak bisa berbuat seperti saudaranya. Bukankah mereka telah
dimaafkan karena tidak mempunyai kelebihan harta? Namun, mereka tetap merasa
sedih karena melihat saudaranya bisa berbuat kebaikan, sementara mereka tidak
bisa melakukannya.
Mari
kita simak penuturan sahabat Abu Dzar radhiallahu anhu. Pada suatu hari,
wajah orang-orang miskin di antara para sahabat cemberut. Mereka kemudian
mengadu kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Para sahabat
tersebut bertanya, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya itu pergi dengan
banyak pahala. Mereka mengerjakan shalat sebagaimana yang kami kerjakan. Mereka
melakukan puasa segaimana kami puasa. Namun, mereka bershadaqah dengan harta
yang mereka miliki (sementara kami tidak bisa melakukannya).” (HR. Muslim)
Ya,
karena mereka mengetahui bahwa tempat untuk berlelah adalah dunia. Tempat untuk
meraih pahala adalah dunia. Tempat untuk mengambil bekal sebanyak-banyaknya. Adapun
akhirat adalah ladang untuk memetik semua jerih payah yang mereka telah usahakan.
Hal
kedua yang senantisa diamalkan shalafusshaleh adalah mengingat mati. Mereka
berusaha mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya, seakan mereka akan mati esok.
Ibnu
Umar radhiallahu anhu berkata, “Bila engkau berada di sore hari, maka
jangan menunggu datangnya pagi hari. Dan bila engkau berada di pagi hari, maka
jangan menunggu datangnya sore hari. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu.
Waktu hidupmu sebelum matimu.”
Bahkan,
ada di antara ulama yang menggali kubur di dalam rumahnya. Ketika ditanya
tentang sebab ia membuat kuburan. Ia menjawab, “Bila aku merasa malas dalam
beribadah, maka aku masuk pada kuburan tersebut. Setelah semangatku dalam
beribadah kembali bangkit, barulah aku kembali naik.”
Ini
merupakan pelajaran yang sangat berharga yaitu selagi kita mampu untuk
melakukan kebaikan, maka lakukanlah dengan semaksimal mungkin. Ingatlah pesan
Umar bin Khattab, “Bila engkau merasa capek karena melakukan kebaikan, maka
ketahuilah bahwa kelak capek itu akan hilang dan kebaikan itulah yang akan
tinggal. Dan bila engkau merasa bahagia dengan kemaksiatan, maka kelak kebahagiaan
itu akan hilang dan kemaksiatan itulah yang akan tetap tinggal.”
keren lanjut terus,,,
BalasHapusmakasih om jusman
BalasHapus