Sabtu, 23 November 2013
Senin, 28 Januari 2013
Budayakan Membaca
Oleh: Muahammad Akbar
Lebih aku cintai
daripada mesranya seorang kekasih
Bungkusan kertas
di rumahku
Lebih aku sukai
daripada harumnya aroma parfum
Tamparan seorang
alim di pipiku
Lebih kunikmati
daripada secangkir kopi
Banyak orang yang menyangka bahwa
membaca hanyalah sebuah hobi. Namun benarkah membaca hanyalah sekedar hobi? Penulis
best seller “Misteri shalat
subuh” Dr. Raghib as-Sirjani kembali menggoreskan penanya dengan buku berjudul “Iqra’ la budda an taqra’
& Al-qiraatu minhajul hayah”. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia menjadi
“Spiritual reading.” Beliau mengatakan bahwa membaca bukanlah hobi, melainkan kebutuhan
primer yang harus dipenuhi oleh setiap orang.
Surat al-Alaq ayat 1-5 merupakan
tanda bahwa seorang muslim dituntut untuk membaca. Menurut Raghib, ayat ini
mengandung dua point penting. Pertama, hendaknya membaca dengan nama Rabb yang
telah menciptakan
kita. Maksudnya, membaca itu haruslah dengan nama Allah dan tidak boleh membaca sesuatu
yang membuat Allah murka. Kedua, hendaknya dengan membaca suatu ilmu tidak
menjadikan kita sombong, karena Allahlah yang mengajarkan manusia sehingga
menjadi tahu.
Tiada Hari Tanpa Dakwah
Ketika sedang pulang kampus, Hilman
dan Sandi singgah di sebuah masjid untuk menunaikan shalat magrib. Masjid itu
bernama masjid Nurul Huda, sekitar satu kilometer dari kampus. Waktu itu,
mereka memang pulang menjelang magrib karena ada tugas kampus yang harus mereka
selesaikan.
“Hilman, bagaimana pendapatmu,
kayaknya aku memutuskan untuk keluar dari LDK!” Kata Sandi.
“Kamu pasti bercanda kan?” Jawab Hilman
yang sedang sibuk menjawab sms.
“Aku serius akhi, terus terang
saja, dua bulan terakhir ini aku selalu dihantui dengan…,” dengan apa akhi!”
Potong Hilman dengan tegas sambil memasukkan hapenya ke dalam tas.
“Ya akhi, bukankah engkau yang dahulu
mengajakku masuk ke LDK? Bukankah engkau yang mengatakan bahwa kita harus
berjuang menegakkan Islam di kampus. Bukankah kita pernah berjanji untuk
mengorbankan seluruh apa yang kita miliki untuk dakwah? Apakah engkau telah lupa
semua itu?” Tatap Hilman dengan wajah memerah.
Suasana tiba-tiba sunyi, yang terdengar hanyalah suaru jarum jam tua
yang terletak di depan mimbar masjid itu.
Hilman memang memiliki jiwa
idealis yang tinggi. Bila mendengar kata dakwah maka ia akan langsung merespon.
Inilah yang kemudian membuat Sandi ragu untuk melanjutkan pembicaraannya.
Barulah setelah beberapa saat
kemudian Hilman kembali berkata, “Afwan akhi, kalau saya terlalu kasar pada
antum. Ya, enggak usah kita lanjutkan pembicaraan kita ini.” Hilman kemudian
mengambil tas kemudian meminta izin pada Sandi untuk pulang terlebih dahulu.
Jumat, 11 Januari 2013
Peradaban Milik Siapa?
Generasi Islam saat ini sungguh jauh tertinggal. Peradaban Islam di abad
pertengahan hanya sebagai saksi bisu. Ketika Eropa masih dalam kehidupan yang
primitif, umat islam telah berperadaban. Ketika itu jalan-jalan di Eropa masih
becek, malam harinya masih gelap gulita tanpa lampu. Mereka hidup di negri yang
tandus, terisolir, kumuh dan liar. Rumah-rumah di Paris dan London masih dibangun
dari kayu dan tanah yang dicampur dengan jemari dan bambu, itu pun tidak
berventilasi dan dibangun di atas dataran yang sangat rendah.
Inilah Peradaban Islam. Cordoba pada masa Abdurrahman III dari Bani
Umayyah, malam harinya disinari oleh lampu-lampu yang begitu terang, sehingga
pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Belum lagi
di Granada, di sana terdapat Istana al-Hamra yang merupakan lambang keajaiban
dunia yang mencengangkan orang-orang yang melihatnya. Bahkan di Sevilla sudah
ada pabrik baju besi, topi baja dan alat perlengkapan perang lainnya. Orang-orang
Eropa datang dari setiap tempat untuk membelinya karena mereka masih belum
memiliki. Sekali lagi itu hanya tinggal nama dan kenangan.
Di abad modern ini, justru peradaban dikuasai
oleh Eropa dan Amerika. Ada hal yang harus kita perhatikan dan renungkan secara
mendalam. Ketika Umat Islam berpegang teguh terhadap agamanya, mereka menjadi
umat yang berperadaban dan menjadi rujukan dunia. Berbeda dengan Eropa, ketika
jauh dari Agamanya justru mereka menjadi berperadaban. Oleh karena itu apabila
ingin kembali berjaya, umat islam harus kembali perpegang teguh sebagaiman
pendahulunya.
Selasa, 01 Januari 2013
Berlomba-lomba Dalam Kebaikan
Banyak
orang yang salah dalam menilai itsar. Itsar adalah sikap lebih
mengedepankan orang lain dari pada diri sendiri. Sebagaimana hal ini
difirmankan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam surat al-Hasyr ayat
sembilan:
“Dan mereka (kaum anshar) mengutamakan (orang-orang muhajirin),
atas diri mereka sendiri. Sekali pun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
Namun,
perlu kita ketahui bahwa itsar hanya berlaku dalam masalah dunia. Adapun
dalam masalah agama, maka yang berlaku adalah firman Allah Subhanahu
wata’ala yang berbunyi, “Fastabiqul khairat (berlomba-lombalah kamu
dalam kebaikan).”
Jadi,
dalam masalah agama kita tidak boleh mengalah. Kita tidak boleh lebih
mendahulukan orang lain. Bukankah kita ingin termasuk kategori orang yang
mendapat naungan dari Allah Subhanahu wata’ala di akhirat kelak?
Bukankah kita ingin duduk bersandingan
dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam? Bukankah kita ingin
mendapatkan surga yang nikmatnya tiada tara?
Bukankah
dalam masalah dunia saja kita berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan? Kita
tentu ingin sukses dan tidak akan pernah mengharapkan rugi. Dalam masalah
dagang saja misalnya, kita tentu ingin
mendapat keuntungan setinggi-tingginya. Kalau dalam masalah dunia saja kita
ingin yang terbaik, lalu mengapa dalam masalah akhirat kita tidak ingin yang terbaik?
Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya manusia mengetahui
bagaimana besarnya keutamaan adzan dan shaf awal kemudian mereka tidak
mendapati cara selain mengundi, maka mereka akan mengundi.” (HR. Bukahri
dan Muslim)
Belajar dari Yahudi
Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kata-kata Yahudi? Tentu yang terlintas dalam pikiran kita bahwa Yahudi adalah manusia keras kepala, pembangkang, suka melanggar sumpah, pembunuh para nabi dan rasul, dan segudang kehinaan yang disematkan kepadanya.
Ya
memang benar. Yahudi itu tidak pernah taat dan senantiasa membangkang dari
perintah nabi dan rasul. Disebutkan dalam al-Quran bahwa mereka sebenarnya mengetahui
syariat (agama) melebihi pengetahuan terhadap anak-anak mereka. Namun seakan mereka
buta, tuli, bisu terhadap agama. Dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa makna “Magdub” dalam surat
al-Fatihah adalah orang Yahudi.
Satu
hal yang menjadi ciri khas orang Yahudi bahwa mereka tidak akan pernah ridha
kepada Islam sampai kita mengikuti agama mereka. Sebagaiman dalam surat
al-Baqarah ayat 120. Ya, itulah orang Yahudi.
Belajar
dari Yahudi
Pembaca
tentu merasa heran
dan bertanya dalam hati,
dari sisi mana kita akan belajar kepada orang Yahudi? Inilah yang akan penulis
sampaikan pada pembaca yang budiman. Kita harus mengakui bahwa Yahudi adalah
bangsa yang cerdas. Karena kecerdasannya itulah justru mereka sombong dan
senantiasa membangkang.
Tahukah
kita, siapakah penemu facebook, blackberry, microsoft, dan hal yang sangat kita
butuhkan untuk saat ini yaitu internet? Mereka adalah Mark Zukerberg, Mike
Lazaridis, Bill Gates dan Larry Page. Kita juga tentu sering mendengar nama-nama
berikut ini :Karl Marx, Albert Einstein dan Felix Bloch. Mereka adalah tokoh
filsuf, bapak fisika dan penemu bom atom. Dan tahukah kita bangsa apakah
mereka? Mereka adalah bangsa Yahudi.
Langganan:
Postingan (Atom)