Senin, 28 Januari 2013

Tiada Hari Tanpa Dakwah



Ketika sedang pulang kampus, Hilman dan Sandi singgah di sebuah masjid untuk menunaikan shalat magrib. Masjid itu bernama masjid Nurul Huda, sekitar satu kilometer dari kampus. Waktu itu, mereka memang pulang menjelang magrib karena ada tugas kampus yang harus mereka selesaikan.
“Hilman, bagaimana pendapatmu, kayaknya aku memutuskan untuk keluar dari LDK!” Kata Sandi.
“Kamu pasti bercanda kan?” Jawab Hilman yang sedang sibuk menjawab sms.
“Aku serius akhi, terus terang saja, dua bulan terakhir ini aku selalu dihantui dengan…,” dengan apa akhi!” Potong Hilman dengan tegas sambil memasukkan hapenya ke dalam tas.
“Ya akhi, bukankah engkau yang dahulu mengajakku masuk ke LDK? Bukankah engkau yang mengatakan bahwa kita harus berjuang menegakkan Islam di kampus. Bukankah kita pernah berjanji untuk mengorbankan seluruh apa yang kita miliki untuk dakwah? Apakah engkau telah lupa semua itu?” Tatap Hilman dengan wajah memerah.  Suasana tiba-tiba sunyi, yang terdengar hanyalah suaru jarum jam tua yang terletak di depan mimbar masjid itu.
Hilman memang memiliki jiwa idealis yang tinggi. Bila mendengar kata dakwah maka ia akan langsung merespon. Inilah yang kemudian membuat Sandi ragu untuk melanjutkan pembicaraannya.
Barulah setelah beberapa saat kemudian Hilman kembali berkata, “Afwan akhi, kalau saya terlalu kasar pada antum. Ya, enggak usah kita lanjutkan pembicaraan kita ini.” Hilman kemudian mengambil tas kemudian meminta izin pada Sandi untuk pulang terlebih dahulu.
Tempat Hilman tidak terlalu jauh dari tempat Sandi, hanya sekitar satu kilometer. Mereka sebenarnya orang jauh. Hilman dari Sukabumi sementara Sandi dari Cianjur. Hilman tinggal di rumah pamannya di Cibinong, sementara Sandi tinggal di rumah kos milik paman Hilman karena ia tidak mempunyai sanak keluarga di Bogor.
Mereka kuliah di satu Universitas, Ibn Khaldun namanya. Namun, jurusan mereka berbeda. Hilman mengambil jurusan Ekonomi Syariah sedangkan Sandi mengambil jurusan Tehnik Informatika.
Setahu Hilman, Sandi adalah orang yang cerdas, rajin, ulet, dan pantang menyerah. Ia juga memiliki wajah yang lumayan tampan. Hilman terkadang bercanda, “Masya Allah, akhwat mana sih yang menolak dengan orang seperti ini.” Sambil mengkerutkan kening memberi isyarat pada Sandi di depan teman-teman yang lain.
Sandi juga memiliki kepribadian yang ramah, senang berbagi, menghargai teman, juga menerima saran dan pendapat. Itulah yang membuat Hilman sangat senang berteman dengan Sandi. Selain itu, Sandi juga mempunyai keahlian dalam dunia IT. Bukan hanya itu, bacaan al-Quran Sandi sudah sangat bagus ditambah lagi suaranya yang begitu merdu. Hafalannya pun sudah sekitar tiga juz. Wajar, ia memang alumni pondok pesantren.  
Berbeda dengan Hilman. Ia tidak pernah menduduki bangku pesantren. Namun bagi  Hilman, itu bukanlah suatu kekurangan yang harus disesali. Tidak ada kata telat dalam mengejar keterlambatan. Baginya, dakwah adalah sebuah kebutuhan.
Dakwah adalah pekerjaan yang mulia. Dakwah adalah warisan para Nabi dan Rasul. Seorang dai seharusnya tidak merasaa kecil hati. Justru merasa bangga  karena mereka mengemban amanah suci yang telah diwariskan oleh para Nabi dan orang-orang shaleh. Menurut Hilman dakwah bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya terbatas pada kyai atau ustadz. Rasulullah bersabda, “Sampaikan yang datang dariku walaupun hanya satu ayat.”
Hilman meresa heran jika ada seseorang yang menunda waktunya untuk berdakwah. Sebagian mereka beralasan bahwa ilmunya masih kurang.  Ada yang mengatakan jika selesai S1, master atau doktor. Ada juga beralasan karena khawatir jikalau yang mereka sampaikan tidak sesuai dengan yang mereka lakukan. Padahal, ini hanyalah bisikan dan was-was dari setan. Itulah prinsip Hilman yang acapkali ia ucapkan untuk memberi semangat pada teman-temannya.
Hilman memang sejak SMA sudah tertarik pada dunia dakwah. Ia pernah aktif dalam kegiatan Rohis. Bahkan, ia pernah menjadi ketua rohis saat kelas dua SMA. Hilman juga memiliki jiwa humoris. Dialah yang selalu mencairkan suasana saat tegang. Namun di sisi lain, ia sangat tegas seakan tidak ada kata kompromi, bila berkaitan dengan kesucian Islam. Apalagi soal dakwah.
Berbagai macam sarana dakwah Hilman tempuh demi menegakkan panji Islam. Beliaulah yang paling aktif mengisi mentoring bagi adik-adik semesternya. Beliau juga kerap dijadikan tempat curhat bukan hanya bagi adik mentor, tapi bagi teman-temannya yang lain. Beliau juga tidak ketinggalan berdakwah melalui dunia maya. Di blog misalnya, tulisan-tulisan beliau yang terkait dengan dakwah Islam sangatlah banyak. Beliau juga mempunyai program sms dakwah. Kurang lebih seribu orang tiap hari yang beliau kirimkan sms dakwah. Isinya terkadang dalil al-Quran maupun hadits, terkadang perkataan ulama, terkadang juga kata-kata bijak. Adapun biayanya, kadang dari beliau sendiri, kadang juga dari teman-teman atau orang yang ingin berinfak untuk dakwah.
Setelah kejadian di Masjid Nurul Huda beberapa hari yang lalu, mereka jarang bertemu di kampus. Sandi bahkan terkadang tidak terlihat di kampus. Sandi memang berusaha untuk tidak bertemu dengan Hilman.
Sebenarnya sudah dua bulan terakhir ini, Hilman mulai melihat gelagak Sandi yang menurutnya aneh seakan ia memiliki masalah. Sandi sudah mulai jarang mengisi mentoring. Bila ditanya, alasannya selalu sibuk. Memang Hilman maklumi karena sudah sekitar empat bulan Sandi bekerja di salah satu perusahaan asing. Ia sebagai programer.
Hal ini Sandi lakukan untuk mempraktekkan ilmu yang ia peroleh dari kampus. Dari kerja itu juga sekaligus untuk membayar kos dan biaya makan beliau. Ia memang bertekad untuk tidak meminta uang lagi kepada orang tuanya pada semester tujuh nanti.
Dua minggu setelah itu, Hilman menelpon Sandi mengajaknya makan bareng di salah satu masakan ternama di Bogor. Hilman memang pernah berjanji untuk mentraktir Sandi. Selain itu,  ini merupakan tehnik Hilman untuk menarik hati Sandi agar kembali lagi aktif dalam lembaga dakwah kampus. Akhirnya, mereka bersepakat untuk makan pada malam minggu.
Hilman mulai membuka pembicaraan, “Hmm, kayaknya kegiatan dakwah kita terasa gersang tanpa kehadiran antum akhi.” Rayu Hilman. Sandi hanya tersenyum sambil meminum jus alpukat yang baru saja disediakan.
“Aku serius ni akhi, pokoknya kita merasa kekurang deh. Ya, kita kurang satu. Pemain bola tidak akan bertanding bila kurang satu kan? Uang juga tidak akan sampai 1 juta jika kurang satu rupiah kan?” Canda Hilman. Namun, lagi-lagi Sandi seakan cuek dan terus saja memutar-balik nokia lamanya.
Beberapa saat kemudian, Sandi mulai berbicara. “Akhi, kayaknya sekarang saatnya aku katakan apa yang selama ini aku simpan dalam hatiku.” Kata Sandi.
“Dengan senang hati,” jawab Hilman.
“Sebelumnya aku ingin minta maaf akhi, sebenarnya…,” Sebenarnya apa akhi?” potong Hilman.
“Katakan saja akhi. Kamu tahu kan kita temen deket. Bagiku kamu adalah saudaraku. Dua tahun sudah kita bersama, berjuang menegakkan dakwah di kampus yang tercinta.  Ayo katakan akhi, aku akan bantu antum. Bila antum butuh biaya, maka aku akan usahakan semampuku.” Jawab Hilman meyakinkan.
“Bukan itu akhi…,” belum selesai Sandi berbicara, Hilman langsung memotong, “Lalu apa akhi?”
“Sebenarnya…, sebenarnya aku telah melakukan dosa besar. Dosa yang mungkin tidak akan dimaafkan oleh seluruh penduduk langit dan bumi.” Kata Sandi sambil meremas-remas jarinya. Awan mendung pun mulai tampak di wajah Sandi.
Hilman tercengang. Ia kemudian memegang tangan saudaranya. “Ya akhi, sedihmu adalah sedihku. Dukamu adalah dukaku, engkau adalah sahabatku. Ketahuilah bahwa tidak ada hamba di dunia ini yang tidak berdosa. Manusia tidak akan mulia tanpa dosa. Yang tidak berdosa hanyalah maliakat akhi.” Air mata suci pun mulai tumpah dari mata Hilman.
“Tapi.., bukan hanya itu akhi. Bila aku katakan sekarang, mungkin engkau akan meludahiku karena jijik mendengar kelakuan bejatku.” Tangisan Sandi meledak, membahana ke setiap ruang makan itu.
“Hilman, aa..aku telah melakukan zina!” kata Sandi sambil menunduk malu.
Hilman kemudian mendekati Sandi, ia memeluk saudaranya sambil mengatakan. “Ya akhi, apa yang menyebabkanmu melakukan semua ini? Ini sungguh tidak masuk akal. Dan.., dan kenapa antum tidak pernah cerita sebelumnya padaku kalau antum pacaran?
“Aku juga tidak tahu kenapa bisa terjadi seperti ini pada diriku. Kenapa aku begitu bodoh akhi. Apa.., apa yang harus aku lakukan sekarang. Adakah orang yang mau mendengarkanku?” Kesal Sandi pada dirinya.
Sandi kemudian menceritakan bahwa sebenarnya ia tidak pacaran. Ia hanya memberikan sedikit perhatiannya terhadap Wati, teman kerja beliau. Ia ingin mengajak Wati agar paham terhadap Islam dan agar beliau mau menggunakan jilbab. Tapi itu semua sia-sia. Ia ternyata justru terjebak oleh tipu daya setan.
Sandi melanjutkan ceritanya bahwa malam itu, ia terpaksa mengantar Wati ke rumahnya karena beliau sedang sakit. Kebetulan waktu itu, seluruh keluarga Wati tidak ada di rumah karena keluarganya sedang menghadiri pernikahan anak pamannya yang ada di kampung. Namun entah mengapa, Sandi masuk ke rumah Wati dan akhirnya terjadilah sesuatu yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Ya, mereka melakukan sebuah dosa besar.
Setelah kejadian itu, mereka tidak pernah bertemu dan berkomunikasi lagi. Sebulan kemudian, Sandi mendengar kabar ternyata Wati meninggal dunia karena kecelakaan. Sandi meresa sangat bersalah dan berdosa. Hari-hari pun ia lalui dengan penyesalan.
“Aku seakan ingin bunuh diri saja akhi, aku malu. Ya, malu dengan seluruh penduduk bumi. Sungguh aku sangat menyesal akhi. Tapi bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur!” Kata Sandi sambil memukul-mukul kepalanya.
Hilman tak dapat berkata apa-apa, selain menyapu air matanya  yang bercucuran. Bibirnya seakan kelu untuk berucap. Lidahnya pun kaku untuk memproduksi kata-kata. Matanya yang berkaca-kaca itu, hanya bisa menyorot wajah kawannya yang sedang menunduk malu. Ia kemudian teringat oleh kisah seorang yang telah membunuh 100 orang, namun tetap diampuni oleh Allah. Demikian pula kisah pelacur yang kemudian dimaafkan karena telah memberi air kepada seekor anjing.
Hilman kemudian memegang pundak saudaranya, “Ya akhi, tidak ada dosa yang tidak diampuni oleh Allah. kita adalah manusia biasa. Berapasih kesalahanmu dibanding dosa pembunuh 100 orang. Berapa sih kesalahanmu dibanding seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing? Bukankah Allah telah mengampuni mereka? Ketahuilah bahwa Rahmat Allah maha luas. Seluas langit dan bumi.”
“Ingatlah akhi, hadits Qudsi dalam hadits arbain yang tempo hari pernah kita pelajari. Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Jika engkau mendatangi Allah sejengkal maka Allah akan mendatangimu sehasta. Jika engkau mendatangi Allah dengan berjalan maka Allah akan mendatangimu dengan berlari.” Sandi mengangguk-angguk, layaknya anak kecil yang sedang dinasehati oleh ibunya.  
Hilman meyakinkan Sandi bahwa dalam Islam tidak ada kamus putus asa. Selagi matahari belum terbit dari arah barat dan selagi nyawa belum sampai ke tenggerokan, maka selama itu juga kesempatan bagi kita untuk bertaubat. Allah pun melarang kita untuk berputus asa, sebagaimana firmannya, “Dan janganlah kamu berputus asa dari Rahmat Allah. sesungguhnya yang berputus asa dari Rahmat Allah hanyalah orang-orang kafir.” (QS. Yusuf : 87)
Rasulullah juga bersabda, “Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang bersalah adalah orang yang bertaubat kepada Allah.”
Hilman melanjutkan nasehatnya, “Ingatlah akhi, bahwa Nabi Adam pun pernah bersalah. Namun, karena ia bertaubat maka derajat beliau diangkat. Nabi Yunus pun pernah bersalah karena meninggalkan kaumnya yang selalu membangkang. Namun, karena ia bertaubat maka ia pun diampuni oleh Allah. Kalau seorang nabi saja pernah bersalah, maka apalagi kita sebagai manusia biasa tentu lebih layak melakukan dosa,” lanjut Hilmat.
Mendengar penjelasan panjang Hilman, Sandi akhirnya kembali mempunyai semangat baru. Ia menatap Hilman dengan penuh rasa percaya diri. “Akhi.., aku berjanji, mulai hari ini aku akan bersungguh-sungguh untuk menghapus kesalahanku. Aku akan mengejar ketertinggalanku.” Kata Sandi mantap.
Hilman pun kembali memeluk saudaranya seraya berkata, “Semoga Allah menerima taubat antum akhi.”

Hikmah yang dapat kita petik dari kisah ini:
1.       Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Dakwah bahkan merupakan sebuah kebutuhan bagi setiap orang.
2.       Tidak ada dosa yang tidak diampuni. Selagi nyawa belum berada di tenggorokan dan selagi matahari belum terbit dari arah barat, maka selama itu pula pintu taubat senantiasa terbuka bagi  manusia.
3.       Fungsi dan peran seorang teman yaitu menghibur saudaranya bila ia sedih. Memberinya semangat bila ia putus asa dan mengingatkannya bila ia lalai.
Semoga setelah membaca kisah ini, hati kita tergerak untuk tidak memandang remeh hal-hal kecil. Jangan anggap remeh dosa kecil, karena dari percikan apilah menyebabkan kebaran dan menghanguskan segala apa yang dapat dijangkau.
Penulis : Muhammad Akbar



Tidak ada komentar:

Posting Komentar