Senin, 28 Januari 2013

Budayakan Membaca


Oleh: Muahammad Akbar
Sungguh, tinta yang menemaniku sepanjang hari
Lebih aku cintai daripada mesranya seorang kekasih
Bungkusan kertas di rumahku
Lebih aku sukai daripada harumnya aroma parfum
Tamparan seorang alim di pipiku
Lebih kunikmati daripada secangkir kopi
Banyak orang yang menyangka bahwa membaca hanyalah sebuah hobi. Namun benarkah membaca hanyalah sekedar hobi? Penulis best seller “Misteri shalat subuh” Dr. Raghib as-Sirjani kembali menggoreskan penanya dengan buku berjudul Iqra’ la budda an taqra’ & Al-qiraatu minhajul hayah”. Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia menjadi “Spiritual reading.” Beliau mengatakan bahwa membaca bukanlah hobi, melainkan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh setiap orang.
Surat al-Alaq ayat 1-5 merupakan tanda bahwa seorang muslim dituntut untuk membaca. Menurut Raghib, ayat ini mengandung dua point penting. Pertama, hendaknya membaca dengan nama Rabb yang telah menciptakan kita. Maksudnya, membaca itu haruslah dengan nama Allah dan tidak boleh membaca sesuatu yang membuat Allah murka. Kedua, hendaknya dengan membaca suatu ilmu tidak menjadikan kita sombong, karena Allahlah yang mengajarkan manusia sehingga menjadi tahu.

Tiada Hari Tanpa Dakwah



Ketika sedang pulang kampus, Hilman dan Sandi singgah di sebuah masjid untuk menunaikan shalat magrib. Masjid itu bernama masjid Nurul Huda, sekitar satu kilometer dari kampus. Waktu itu, mereka memang pulang menjelang magrib karena ada tugas kampus yang harus mereka selesaikan.
“Hilman, bagaimana pendapatmu, kayaknya aku memutuskan untuk keluar dari LDK!” Kata Sandi.
“Kamu pasti bercanda kan?” Jawab Hilman yang sedang sibuk menjawab sms.
“Aku serius akhi, terus terang saja, dua bulan terakhir ini aku selalu dihantui dengan…,” dengan apa akhi!” Potong Hilman dengan tegas sambil memasukkan hapenya ke dalam tas.
“Ya akhi, bukankah engkau yang dahulu mengajakku masuk ke LDK? Bukankah engkau yang mengatakan bahwa kita harus berjuang menegakkan Islam di kampus. Bukankah kita pernah berjanji untuk mengorbankan seluruh apa yang kita miliki untuk dakwah? Apakah engkau telah lupa semua itu?” Tatap Hilman dengan wajah memerah.  Suasana tiba-tiba sunyi, yang terdengar hanyalah suaru jarum jam tua yang terletak di depan mimbar masjid itu.
Hilman memang memiliki jiwa idealis yang tinggi. Bila mendengar kata dakwah maka ia akan langsung merespon. Inilah yang kemudian membuat Sandi ragu untuk melanjutkan pembicaraannya.
Barulah setelah beberapa saat kemudian Hilman kembali berkata, “Afwan akhi, kalau saya terlalu kasar pada antum. Ya, enggak usah kita lanjutkan pembicaraan kita ini.” Hilman kemudian mengambil tas kemudian meminta izin pada Sandi untuk pulang terlebih dahulu.

Jumat, 11 Januari 2013

Peradaban Milik Siapa?




Generasi Islam saat ini sungguh jauh tertinggal. Peradaban Islam di abad pertengahan hanya sebagai saksi bisu. Ketika Eropa masih dalam kehidupan yang primitif, umat islam telah berperadaban. Ketika itu jalan-jalan di Eropa masih becek, malam harinya masih gelap gulita tanpa lampu. Mereka hidup di negri yang tandus, terisolir, kumuh dan liar. Rumah-rumah di Paris dan London masih dibangun dari kayu dan tanah yang dicampur dengan jemari dan bambu, itu pun tidak berventilasi dan dibangun di atas dataran yang sangat rendah.
Inilah Peradaban Islam. Cordoba pada masa Abdurrahman III dari Bani Umayyah, malam harinya disinari oleh lampu-lampu yang begitu terang, sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Belum lagi di Granada, di sana terdapat Istana al-Hamra yang merupakan lambang keajaiban dunia yang mencengangkan orang-orang yang melihatnya. Bahkan di Sevilla sudah ada pabrik baju besi, topi baja dan alat perlengkapan perang lainnya. Orang-orang Eropa datang dari setiap tempat untuk membelinya karena mereka masih belum memiliki. Sekali lagi itu hanya tinggal nama dan kenangan.
Di abad modern ini, justru peradaban dikuasai oleh Eropa dan Amerika. Ada hal yang harus kita perhatikan dan renungkan secara mendalam. Ketika Umat Islam berpegang teguh terhadap agamanya, mereka menjadi umat yang berperadaban dan menjadi rujukan dunia. Berbeda dengan Eropa, ketika jauh dari Agamanya justru mereka menjadi berperadaban. Oleh karena itu apabila ingin kembali berjaya, umat islam harus kembali perpegang teguh sebagaiman pendahulunya.

Selasa, 01 Januari 2013

Berlomba-lomba Dalam Kebaikan

Banyak orang yang salah dalam menilai itsar. Itsar adalah sikap lebih mengedepankan orang lain dari pada diri sendiri. Sebagaimana hal ini difirmankan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam surat al-Hasyr ayat sembilan:
“Dan mereka (kaum anshar) mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekali pun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
Namun, perlu kita ketahui bahwa itsar hanya berlaku dalam masalah dunia. Adapun dalam masalah agama, maka yang berlaku adalah firman Allah Subhanahu wata’ala yang berbunyi, “Fastabiqul khairat (berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan).”
Jadi, dalam masalah agama kita tidak boleh mengalah. Kita tidak boleh lebih mendahulukan orang lain. Bukankah kita ingin termasuk kategori orang yang mendapat naungan dari Allah Subhanahu wata’ala di akhirat kelak? Bukankah kita  ingin duduk bersandingan dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam? Bukankah kita ingin mendapatkan surga yang nikmatnya tiada tara?
Bukankah dalam masalah dunia saja kita berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan? Kita tentu ingin sukses dan tidak akan pernah mengharapkan rugi. Dalam masalah dagang saja misalnya, kita tentu  ingin mendapat keuntungan setinggi-tingginya. Kalau dalam masalah dunia saja kita ingin yang terbaik, lalu mengapa dalam masalah akhirat kita tidak ingin yang terbaik?
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya manusia mengetahui bagaimana besarnya keutamaan adzan dan shaf awal kemudian mereka tidak mendapati cara selain mengundi, maka mereka akan mengundi.” (HR. Bukahri dan Muslim)

Belajar dari Yahudi


Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kata-kata Yahudi? Tentu yang terlintas dalam pikiran kita bahwa Yahudi adalah manusia keras kepala, pembangkang, suka melanggar sumpah, pembunuh para nabi dan rasul, dan segudang kehinaan yang disematkan kepadanya.
Ya memang benar. Yahudi itu tidak pernah taat dan senantiasa membangkang dari perintah nabi dan rasul. Disebutkan dalam al-Quran bahwa mereka sebenarnya mengetahui syariat (agama) melebihi pengetahuan terhadap anak-anak mereka. Namun seakan mereka buta, tuli, bisu terhadap agama. Dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa makna “Magdub” dalam surat al-Fatihah adalah orang Yahudi.
Satu hal yang menjadi ciri khas orang Yahudi bahwa mereka tidak akan pernah ridha kepada Islam sampai kita mengikuti agama mereka. Sebagaiman dalam surat al-Baqarah ayat 120. Ya, itulah orang Yahudi.  
Belajar dari Yahudi
Pembaca tentu merasa heran dan bertanya dalam hati, dari sisi mana kita akan belajar kepada orang Yahudi? Inilah yang akan penulis sampaikan pada pembaca yang budiman. Kita harus mengakui bahwa Yahudi adalah bangsa yang cerdas. Karena kecerdasannya itulah justru mereka sombong dan senantiasa membangkang.
Tahukah kita, siapakah penemu facebook, blackberry, microsoft, dan hal yang sangat kita butuhkan untuk saat ini yaitu internet? Mereka adalah Mark Zukerberg, Mike Lazaridis, Bill Gates dan Larry Page. Kita juga tentu sering mendengar nama-nama berikut ini :Karl Marx, Albert Einstein dan Felix Bloch. Mereka adalah tokoh filsuf, bapak fisika dan penemu bom atom. Dan tahukah kita bangsa apakah mereka? Mereka adalah bangsa Yahudi.