Selasa, 01 Januari 2013

Berlomba-lomba Dalam Kebaikan

Banyak orang yang salah dalam menilai itsar. Itsar adalah sikap lebih mengedepankan orang lain dari pada diri sendiri. Sebagaimana hal ini difirmankan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam surat al-Hasyr ayat sembilan:
“Dan mereka (kaum anshar) mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekali pun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
Namun, perlu kita ketahui bahwa itsar hanya berlaku dalam masalah dunia. Adapun dalam masalah agama, maka yang berlaku adalah firman Allah Subhanahu wata’ala yang berbunyi, “Fastabiqul khairat (berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan).”
Jadi, dalam masalah agama kita tidak boleh mengalah. Kita tidak boleh lebih mendahulukan orang lain. Bukankah kita ingin termasuk kategori orang yang mendapat naungan dari Allah Subhanahu wata’ala di akhirat kelak? Bukankah kita  ingin duduk bersandingan dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam? Bukankah kita ingin mendapatkan surga yang nikmatnya tiada tara?
Bukankah dalam masalah dunia saja kita berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan? Kita tentu ingin sukses dan tidak akan pernah mengharapkan rugi. Dalam masalah dagang saja misalnya, kita tentu  ingin mendapat keuntungan setinggi-tingginya. Kalau dalam masalah dunia saja kita ingin yang terbaik, lalu mengapa dalam masalah akhirat kita tidak ingin yang terbaik?
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya manusia mengetahui bagaimana besarnya keutamaan adzan dan shaf awal kemudian mereka tidak mendapati cara selain mengundi, maka mereka akan mengundi.” (HR. Bukahri dan Muslim)
Ini menunjukkan bahwa sebenarnya kita ingin mendapatkan yang terbaik. Namun, mungkin saja kita belum mengetahui hikmah di balik itu. Mungkin juga kita telah mengetahui, namun kita belum begitu yakin sehingga menganggap sepele hal tersebut. Kalau seandainya kita benar-benar yakin, maka kita tidak akan melewatkan pahala selagi kita mampu. Sebagaimana para sahabat, mereka tidak akan pernah melewatkan pahala selagi mereka mampu untuk meraihnya. 
Seorang muslim yang cerdas, tentu mengetahui apa yang terbaik baginya. Pepatah mengatakan, “Orang yang cerdas adalah orang yang mengetahui kemaslahatan (kebaikan) bagi dirinya.”
Lihatlah para sahabat, betapa antusiasnya mereka untuk mendapatkan kebaikan. Ketika ada seruan untuk berjihad, tanpa pikir panjang, mereka langsung menyambutnya. Mari kita simak penuturan Ali radhiallahu anhu ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam akan mengutus para sahabat ke salah satu peperangan. Mereka saling berlomba. Bahkan masing-masing dari mereka mengharap bahwa merekalah yang ditunjuk oleh Rasulullah sebagai pimpinan perang. Pada saat itu, mereka semua mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, agar Rasulullah melihat dan menunjuknya sebagai pimpinan perang.
Demikian pula ketika ada seruan berinfak, mereka pun saling berlomba. Dalam perang tabuk misalnya, Umar bin Khattab datang dengan membawa separuh hartanya. Ia merasa sangat gembira karena bisa menginfakkan sebagian besar hartanya. Dan tak lama setelah itu, dalatanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya.
Kita mungkin merasa heran, kenapa Abu Bakar rela menginfakkan seluruh hartanya. Ini pula yang Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tanyakan kepada beliau, “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Namun, apa jawaban Abu Bakar, “Aku sisakan bagi mereka Allah dan Rasulnya.” Sungguh jawaban yang sangat bijak.
Apa yang membuat Abu Bakar sampai melakukan hal itu? Tidak lain, karena beliau mengetahui bahwa kelak ia akan mendapat balasan yang jauh lebih besar dibanding apa yang ia korbankan. Sekali lagi, ini menunjukkan betapa semangatnya para sahabat berlomba dalam kebaikan.
Konsep para Shalafusshaleh
Ada dua konsep yang dilakukan oleh shalafusshaleh agar bisa berlomba dalam kebaikan. Pertama, mereka senantiasa melihat kelebihan saudaranya (dalam masalah akhirat). Mereka merasa iri, bila melihat saudaranya begitu rajin melakukan shalat tahajjud, sementara mereka masih merasa malas. Mereka merasa sedih ketika melihat saudaranya begitu khusyuk dalam shalat, sementara mereka tidak. Mereka pun merasa iri ketika melihat saudaranya begitu rajin dalam bershadaqah, demikian pula dalam menuntut ilmu, sementara mereka tidak bisa seperti itu. 
Perlu kita ketahui bahwa iri dalam masalah ini diperbolehkan. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada iri kecuali dalam dua hal yaitu seseorang yang memiliki harta kemudian menginfakkannya dan seseorang yang memiliki ilmu kemudian mengajarkannya.”
Bahkan dalam masalah yang mereka tidak mampu untuk melakukannya, pun mereka merasa sangat tertinggal. Lihatlah betapa sedihnya para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ketika melihat saudaranya bisa berinfak. Mereka merasa sedih karena tidak bisa berbuat seperti saudaranya. Bukankah mereka telah dimaafkan karena tidak mempunyai kelebihan harta? Namun, mereka tetap merasa sedih karena melihat saudaranya bisa berbuat kebaikan, sementara mereka tidak bisa melakukannya.
Mari kita simak penuturan sahabat Abu Dzar radhiallahu anhu. Pada suatu hari, wajah orang-orang miskin di antara para sahabat cemberut. Mereka kemudian mengadu kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Para sahabat tersebut bertanya, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya itu pergi dengan banyak pahala. Mereka mengerjakan shalat sebagaimana yang kami kerjakan. Mereka melakukan puasa segaimana kami puasa. Namun, mereka bershadaqah dengan harta yang mereka miliki (sementara kami tidak bisa melakukannya).” (HR. Muslim)
Ya, karena mereka mengetahui bahwa tempat untuk berlelah adalah dunia. Tempat untuk meraih pahala adalah dunia. Tempat untuk mengambil bekal sebanyak-banyaknya. Adapun akhirat adalah ladang untuk memetik semua jerih payah yang mereka telah usahakan.
Hal kedua yang senantisa diamalkan shalafusshaleh adalah mengingat mati. Mereka berusaha mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya, seakan mereka akan mati esok.
Ibnu Umar radhiallahu anhu berkata, “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi hari. Dan bila engkau berada di pagi hari, maka jangan menunggu datangnya sore hari. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu. Waktu hidupmu sebelum matimu.”
Bahkan, ada di antara ulama yang menggali kubur di dalam rumahnya. Ketika ditanya tentang sebab ia membuat kuburan. Ia menjawab, “Bila aku merasa malas dalam beribadah, maka aku masuk pada kuburan tersebut. Setelah semangatku dalam beribadah kembali bangkit, barulah aku kembali naik.”
Ini merupakan pelajaran yang sangat berharga yaitu selagi kita mampu untuk melakukan kebaikan, maka lakukanlah dengan semaksimal mungkin. Ingatlah pesan Umar bin Khattab, “Bila engkau merasa capek karena melakukan kebaikan, maka ketahuilah bahwa kelak capek itu akan hilang dan kebaikan itulah yang akan tinggal. Dan bila engkau merasa bahagia dengan kemaksiatan, maka kelak kebahagiaan itu akan hilang dan kemaksiatan itulah yang akan tetap tinggal.”


2 komentar: