Minggu, 30 Desember 2012

Siapakah yang Lebih Bijak



Terkadang kita begitu gampang mengklaim seseorang. Entah itu kurang pantaslah, kurang layaklah atau kurang bijaklah, dan masih banyak tanggapan-tanggapan lain. Sebenarnya tidak ada salahnya kalau memang hal itu adalah sesuatu yang tak pantas. Wajar dong, memberikan peringatan kepada saudara kita agar mereka sadar dan tidak mengulanginya lagi?
Namun, yang kemudian menjadi masalah manakala hal yang menurut kita tidak wajar justru mengandung kebaikan dan hikmah yang tidak kita ketahui. Akhirnya, kita menganggapnya tidak layak dan tidak pantas.
Apa yang penulis hendak sampaikan bahwa tidak semua yang menurut kita tidak wajar itu salah. Mungkin saja, kita belum mengetahui apa sebab orang tersebut melakukan hal seperti itu. Boleh jadi, hal yang menurut kita kurang wajar itu, justru mengandung suatu kemaslahatan.
Kita semua tentu mengetahui Buya Hamka. Seorang ulama besar yang sangat berjasa bagi bangsa ini. Beliau tidak hanya disegani dan dikenal di Indonesia, tapi juga di Arab Saudi dan Mesir. Beliau sebagai salah satu tokoh besar Organisasi Muhammadiyah.
Beliau mempunyai kisah yang semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita. Beliau pernah membid’ahkan qunut pada shalat shubuh. Suatu ketika ia shalat di masjid organisasi Nahdatul Ulama (NU) yang terkenal sangat kental dengan mazhab syafi’i (tentu NU mensunahkan membaca qunut pada shalat shubuh). Saat itu beliau dipersilahkan untuk menjadi imam shalat shubuh. Ternyata beliau membaca qunut. Tentu saja orang NU merasa heran, bukankah beliau yang justru membid’ahkan qunut?
Tahukah anda apa jawaban beliau saat ditannya kenapa melakukan qunut? Ia menjawab dengan sangat bijak, “Dulu aku hanya membaca empat kitab, namun sekarang aku telah membaca 400 kitab.” Pertanyaannya, siapakah yang lebih bijak?
Bisa jadi, kita mengklaim seseorang karena ilmu kita masih terbatas. Kita belum mampu mencerna apa yang sebenarnya melatarbelakangi seseorang untuk melakukan hal itu. Itulah pentingnya tabayyun (mencari tahu tentang kebenaran sesuatu).
Kita juga tentu sering mendengar Buya Muhammad Natsir. Beliau merupakan pendiri Organisasi Masyumi. Jasanya bagi umat Islam di tanah air ini sangatlah banyak. Terlebih kepada mahasiswa Indonesia yang belajar di Saudi Arabia, haruslah berterimakasih kepada beliau. Beliaulah yang pertama kali mengadakan kerjasama dengan pemerintah Saudi untuk mengirim mahasiswa Indonesia belajar agama di sana.
Beliau juga mempunyai kisah yang tak kalah menarik dari Buya Hamka. Kisah ini penulis dengar dari Ustadz Hepi Andi Bastoni saat acara bedah buku beliau berjudul “Wajah politik Muawiyah bin Abi Sofyan.”  
Berikut kisahnya: Waktu itu, diadakan rapat dengan seluruh ormas dan tokoh-tokoh Islam untuk memutuskan agar diadakan libur pada hari jumat. Seluruh peserta pun sepakat untuk diadakan libur pada hari jumat kecuali satu orang yaitu Muhammad Natsir. Seluruh peserta tentu merasa heran. Bukankah beliau yang sangat getol dalam membela Islam? Bukankah beliau yang sangat teguh dalam memperjuangkan hak-hak orang Islam?
Ketika ditanya apa yang menjadi alasan beliau tetap mempertahan libur pada hari ahad. Berikut jawabannya:
“Tahukah saudara apa yang menyebabkan saya tidak setuju bila diadakan libur pada hari jumat dan tetap diliburkan pada hari ahad? Saudara tentu telah mengenal siapa saya dan bagaimana perjuangan saya untuk membela Islam. Bila diliburkan pada hari jumat maka di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, di perusahaan-perusahaan dan di tempat lain tidak akan dibangun masjid. Namun, bila tidak diliburkan maka tentu akan dibangun masjid pada setiap tempat, karena mayoritas mereka semua adalah Islam. Demikian pula sebaliknya, bila diliburkan pada hari jumat bisa jadi di tempat itu akan dibangun gereja, karena pada hari ahad agama Nasrani ingin beribadah.“ Sebuah jawaban yang sungguh tak pernah diduga sebelumnya.
Sekali lagi, siapakah yang lebih bijak? Silahkan anda sendiri yang menjawab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar